Pancasila sebagai Paradigma
Pancasila
sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan,
kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai
yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka
arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.
Yang menyandangnya
itu di antaranya:
1.
Bidang
Politik
2.
Bidang
Ekonomi
4.
Bidang
Hukum
5.
Bidang
kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.
Kelimanya itu, dalam
makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun demikian agar sistematikanya
menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh ‘paradigma yang
terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus.
I.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
Istilah
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma
adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain
seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya
nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan
tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal
ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal
ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai
dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.
susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan
itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek
ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.
Pembangunan
sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi
paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
1. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara
harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek
politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik
Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut
sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan,
moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku
politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan
bermoral.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik
bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat
secara berurutan-terbalik:
• Penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil
dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti
sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan
masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai
asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral
baru masyarakat informasi adalah:
~
nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai
moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada
dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang
mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang
tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai
totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus
dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi
Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau
Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan,
politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan
bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang
lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan
akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.
3. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia
secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya
dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya
yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan
sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti
yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak
asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan –
kebudayaan di daerah:
(1)
Sila Pertama, menunjukan tidak
satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia
yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh
segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan,
kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di
kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui
musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang
mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan
yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
4.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh
penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan
seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia
disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas
hak dan kewajiban warga
negara, serta keyakinan
pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan
nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan
ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya
terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1)
adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari
hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan
segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh
negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk
perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara).
Dalam
kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan
tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
(1)
Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk
hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan
merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang
ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di
mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan
plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun
terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia
kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita
mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana
yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir
pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat
beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh
umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan
merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama
guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya
adalah seperti berikut:
1.
Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam
dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima
prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi
yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan
masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam
“Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.)
misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah,
hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa
homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan
yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan
masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan
upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya
lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di
Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan
hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu
membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah
interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian,
pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap
dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya.
Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai
manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
II.
Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus
Menurut
saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti
contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda
dengan kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan
pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan
antar umat beragama.
Untuk
mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai
makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil
kreativitas rohani manusia.
Unsur
jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang
mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus
untuk mencapai tujuan bersama.
Pembangunanyang
merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahsiswa
harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus
tujuan pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi
pembangunan pengembangan kampus itu sendiri.